Kisah Palui Dibawa Burung

Dikisahkan , di sebuah kampung di daerah Kalimantan Tengah ada sepasang suami istri bersama empat orang anaknya yang masih berumur belasan tahun. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sang Suami mencari ikan di sungai. Dalam mencari ikan, Sang Ayah biasanya dibantu oleh anak sulungnya yang bernama Palui.

Pada suatu hari, sang Ayah sakit, sehingga untuk mencari ikan Palui harus berangkat sendiri ke sungai. Setibanya di sungai, Palui segera memasang jaringnya. Setelah itu, ia duduk di tepi sungai sambil menunggu ikan terperangkap jaringnya. Setelah beberapa lama menunggu, ia turun ke sungai untuk memeriksa jaringnya. Usai diperiksa, ternyata jaringnya masih tetap kosong.

Palui memasang kembali jaringnya dan kemudian duduk di tepi sungai sambil bersiul-siul. Kali ini, ia membiarkan jaringnya terpasang agak lama dengan harapan dapat memperoleh ikan yang banyak. Namun, Palui benar- benar sial hari itu, di jaringnya tidak ada seekor ikan pun yang terperangkap.

Setelah diteliti secara, tidak satu pun lubang yang ia temukan. Oleh karena kesal dan kecewa, akhirnya Palui memutuskan untuk berhenti memancing dan ingin beristirahat sejenak di bawah sebuah pohon di tepi sungai. Saat sedang menikmati sejuknya hawa dingin di bawah pohon itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah benda kecil berwarna merah menimpa dirinya. Ketika menengok ke atas pohon, ia melihat buah beringin yang sangat lebat. Ada yang berwarna kuning dan ada pula yang merah. Saat akan mengalihkan pandangannya, tiba-tiba ranting- ranting pohon itu bergerak-gerak.

Setelah diamati, ia melihat beraneka ragam burung seperti baliang, tingang, punai, dan murai sedang makan buah beringin. Melihat kawanan burung itu, rasa sedih dan kecewanya sedikit terobati dan berniat untuk menangkapnya. Pohon beringin itu cukup tinggi, namun hal tersebut tidak membuat Palui mengurungkan niatnya menangkap burung-burung tersebut.

Saat akan naik ke atas pohon, tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Palui tidak dapat menangkap kawanan burung itu dengan tangan kosong, dan berpikir dengan apa dia dapat menangkap mereka. Setelah berpikir sejenak, Palui langsung teringat pada jaring ikannya.

Dengan penuh semangat, Palui segera memanjat pohon itu sambil membawa jaring ikannya. Melihat kedatangan Palui, kawanan burung yang sedang berpesta makan itu merasa terusik dan langsung beterbangan meninggalkan pohon. Sementara Palui terus saja naik tinggi ke atas pohon dan segera memasang jaringnya mengitari ranting-ranting yang berbuah lebat.

Setelah yakin jaring yang telah dipasangnya sudah kuat, ia segera turun dari pohon dan segera menuju ke jukungnya yang sedang ditambatkan di tepi sungai. Palui bermaksud pulang ke rumahnya dan membiarkan jaringnya di atas pohon itu. Ia mengayuh jukungnya sambil bersiul-siul membayangkan burung-burung itu terperangkap di dalam jaringnya.

Setelah dua hari, ia pergi memeriksa jaring perangkapnya. Dengan penuh harapan, ia mengayuh perahunya dengan cepat ke arah tepi sungai tempat pohon beringin itu berada. Sesampainya di bawah pohon beringin, ia pun menambatkan jukungnya pada sebuah batang kayu dan segera melompat ke darat. Dari bawah pohon beringin itu, ia melihat jaring perangkapnya sedang bergerak-gerak. Setelah diamati, ternyata banyak sekali burung yang terperangkap di dalam jaringnya. Tanpa menunggu lama, ia pun langsung naik ke atas pohon.

Setibanya di atas, ia berdecak kagum melihat beraneka burung yang bulunya berwarna-warni, berukuran besar dan kecil menggelepar-gelepar di dalam jaringnya. Usai mengungkapkan rasa kagumnya, tiba-tiba Palui dihinggapi rasa bingung.

Pada mulanya, Palui berniat untuk membunuh kawanan burung itu. Tapi karena sayang pada burung-burung tersebut, akhirnya ia mengurungkan niatnya. Setelah itu, ia kembali berpikir bahwa seandainya burung-burung itu dibawa pulang, ia akan kesulitan membawanya. Akhirnya, ia memutuskan untuk memeliharanya. Ia kemudian memotong-motong tali panjang yang dibawanya dari rumah, lalu mengikat kaki burung-burung tersebut satu per satu dan mengikatkannya pada pinggangnya. Setelah sekeliling pinggangnya penuh, ia mengikatkannya pada anggota badannya yang lain.

Sementara mengikat burung yang lain, beberapa burung yang sudah terikat mulai mengepak-ngepakkan sayapnya hendak terbang. Ketika sedang mengikat burung yang terakhir, tiba-tiba Palui merasa tubuhnya menjadi ringan. Makin lama makin ringan. Tubuhnya kian mengambang dan terus meninggi. Palui baru sadar, bahwa dirinya diterbangkan burung. Kawanan burung tersebut terbang menuju ke arah kampung tempat tinggal Palui. Betapa senang dan gembiranya hati Palui, ia tertawa bangga diterbangkan oleh kawanan burung tersebut.

Semakin lama, Palu bersama kawanan burung itu terbang semakin tinggi. Palui sangat gembira dapat melihat pemandangan baru. Ia dapat melihat danau dan sungai yang terbentang dan berliku-liku. Tidak jauh dari depannya, Palui melihat kampung tempat tinggalnya.

Dalam hati, Palui berkata bahwa pasti ayah, ibu, dan adik-adiknya akan senang melihat dirinya terbang bersama burung-burung itu. Saat kawanan burung itu terbang mendekat ke atas rumahnya, Palui melihat adik-adiknya sedang bermain-main di halaman rumah.

Palui kemudian menyuruh kawanan burung itu agar menurunkannya di halaman rumah, namun kawanan burung itu tetap membawanya terbang berputar-putar di atas rumah-rumah penduduk. Palui pun mulai panik dan takut kalau-kalau kawanan burung itu membawanya terbang ke mana-mana.

Ibunya yang mendengar terikannya itu segera keluar dari rumah. Alangkah terkejutnya saat ia melihat Palui diterbangkan burung dan berteriak meminta tolong. Ibunya lalu menyuruh Palui untuk melepaskan ikatan burung itu satu-satu. Palui pun menuruti saran ibunya, ia segera melepaskan ikatan burung itu dari pinggangnya satu per satu. Setelah melepaskan ikatan beberapa ekor burung, ia pun mulai terbang merendah. Melihat hal itu, hati Pulai mulai lega. Kemudian ia melepaskan lagi ikatan beberapa ekor burung yang terikat pada anggota badannya. Akhirnya, Palui beserta beberapa burung yang masih tersisa jatuh di halaman rumahnya. Walau dirinya selamat, tapi jantung Palui masih berdetak kencang karena panik.

Adik-adiknya pun segera menghampirinya. Tidak berapa lama, ibunya pun datang dan mendekatinya. Palui hanya diam sambil menunduk, karena merasa ia memang bersalah dan telah bertindak ceroboh.
Setelah itu, Palui minta minum karena merasa haus sekali setelah dilanda kepanikan. Usai minum, Palui meminta izin kepada ibunya untuk memanggang beberapa ekor burung hasil tangkapannya yang masih tersisa. Kemudian, ia segera menyembelih dan membersihkan burung-burung itu, sedangkan ketiga adiknya sibuk menyiapkan perapian. Setelah bersih dan perapian siap, Palui dibantu adiknya segera memanggang burung-burung itu.

Beberapa saat kemudian, terciumlah aroma sedap yang membangkitkan selera makan. Palui bersama adik-adiknya segera menggelar tikar. Mereka sudah tidak sabar ingin menikmati lezatnya burung panggang. Walau demikian, lauk lezat itu tidak langsung habis. Burung panggang itu masih banyak yang tersisa, sehingga selama tiga hari Palui bersama keluarganya masih makan lauk yang sama, yaitu burung panggang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *